Dalam UU ITE diatur bahwa informasi elektronik/dokumen
elektronik dan/atau hasil cetaknya (bukti digital) merupakan alat bukti hukum yang sah,
dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah
sesuai dengan hukum acara yang berlaku diIndonesia. Tapi, tidak sembarang informasi
elektronik/dokumen elektronik dapatdijadikan alat bukti yang sah. Menurut UU ITE, suatu informasi elektronik/ dokumenelektronik
dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistemelektronik
yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE, yaitu sistem elektronik yang andal dan aman,
serta memenuhi persyaratan Minimum sebagai berikut :
1. dapat menampilkan kembali informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan
masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
2. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan
keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik
tersebut;
3. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau
petunjuk dalam penyelenggaraan system elektronik.
4. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa,
informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan
sistem elektronik.
5. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk
menjaga kebaruan, kejelasan, dan ke-bertanggungjawab-an prosedur atau
petunjuk.
Pihak yang mengajukan informasi elektronik tersebut harus dapat membuktikan bahwa telah dilakukan upaya yang patut untuk memastikan bahwa suatu sistem elektronik telah
dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan,dan
keteraksesan informasi elektronik tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa sebelum dokumen elektronik
dapat dijadikan suatu bukti yang sah, maka harus diuji lebih dahulu syarat minimal yang ditentukan oleh undang-undang yaitu pembuatan
dokumen elektronik tersebut dilakukan dengan menggunakan sistem elektronik yang
andal, aman dan beroperasi sebagaimana sudah semestinya memenuhi batas
minimal pembuktian, oleh karena dalam teori hukum pembuktian disebutkan
bahwa agar suatu alat bukti yang diajukan di persidangan sah sebagai alat
bukti, harus dipenuhi secarautuh syarat formil dan materiil sesuai dengan yang
ditentukan oleh undang-undang.
Batas minimal pembuktian akta otentik cukup
pada dirinya sendiri, oleh karena nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada
akta otentik adalah sempurna dan mengikat, pada dasarnya ia dapat berdiri
sendiri tanpa memerlukan bantuan atau dukungan alat bukti yang lain.
Kalau
syarat diatas dipenuhi, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1975 KUH
Perdata juncto Pasal 288 RBG maka nilai kekuatan pembuktiannya sama dengan
akta otentik; dan oleh karena itu juga mempunyai batas minimal pembuktian yaitu
mampu berdiri sendiri tanpa bantuan alat bukti lain.
Dari syarat-syarat formil dan materiil tersebut dapat dikatakan bahwa dokumen
elektronik agar memenuhi batas minimal pembuktian haruslah didukung dengan
saksi ahli yang mengerti dan dapat menjamin bahwa sistem elektronik yang
digunakan untuk membuat, meneruskan, mengirimkan, menerima atau menyimpan dokumen
elektronik adalah sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang; kemudian
juga harus dapat menjamin bahwa dokumen elektronik tersebut tetap dalam keadaan
seperti pada waktu dibuat tanpa ada perubahan apapun ketika diterima oleh pihak
yang lain (integrity), bahwa memang benar dokumen tersebut berasal dari
orang yang membuatnya (authenticity) dan dijamin tidak dapat diingkari
oleh pembuatnya (nonrepudiation).
Hal ini bila dibandingkan dengan bukti tulisan, maka dapat dikatakan dokumen
elektronik mempunyai derajat kualitas pembuktian seperti bukti permulaan
tulisan (begin van schriftelijke bewijs), dikatakan seperti demikian oleh
karena dokumen elektronik tidak dapat berdiri sendiri dalam mencukupi batas
minimal pembuktian, oleh karena itu harus dibantu dengan salah satu alat bukti yang lain.
Dan
nilai kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim, yang dengan
demikian sifat kekuatan pembuktiannya adalah bebas (vrij bewijskracht).
0 komentar:
Posting Komentar