Welcome to my site

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

Duis aute irure dolor in reprehenderit in voluptate velit esse cillum dolore eu fugiat nulla pariatur. Excepteur sint occaecat cupidatat non proident, sunt in culpa qui officia deserunt mollit anim id est laborum. ed ut perspiciatis unde omnis iste.

" Small is the number of people who see with their own eyes, think with their own minds and feel with their own hearts " (Albert Hermann Einstein)

= contact me at ndre@engineer.com or click on my facebook badge =

MASUK DAN BERKEMBANGNYA ISLAM (ARTIKEL SAYA WAKTU KELAS DUA SMA)

Teori Masuknya Islam ke Indonesia

Islam merupakan agama dengan pemeluk terbesar di Indonesia. Hal tersebut tidak terlepas dari usaha para juru dakwah agama Islam dalam melakukan islamisasi di  Indonesia. Islamisasi adalah istilah umum yang biasa dipergunakan untuk menggambarkan proses persebaran Islam di Indonesia pada periode awal (abad 7-13 M), terutama menyangkut waktu kedatangan, tempat asal serta para pembawanya, yang terjadi tidak secara sistematis dan terencana. Inilah definisi  islamisasi  yang dimaksud dalam tulisan ini. Metodologi tulisan ini sepenuhnya merupakan penelitian kepustakaan (library research). Di sini penulis akan mencoba menguraikan beberapa pandangan mengenai teori Islamisasi di Indonesia secara deskriptif-analitis. Pembahasan mengenai masuknya Islam ke Indonesia sangat menarik terkait dengan banyaknya perbedaan pendapat di kalangan sejarawan. Masing-masing pendapat menggunakan berbagai sumber, baik dari arkeologi, beberapa tulisan dari berbagai sumber. Ada tiga pendapat tentang waktu masuknya Islam di Nusantara yaitu :
  1. Islam Masuk ke Indonesia Pada Abad ke 7:
1.       Seminar masuknya islam di Indonesia (di Aceh) sebagian dasar adalah catatan perjalanan Al mas’udi, yang menyatakan bahwa pada tahun 675 M, terdapat utusan dari raja Arab Muslim yang berkunjung ke Kalingga. Pada tahun 648 diterangkan telah ada koloni Arab Muslim di pantai timur Sumatera.
2.       Seminar mengenai Masuknya Islam ke indonesia di medan pada Ahad 21-24 Syawal 1382 H (17-20 maret 1963 H) yang salah satu kesimpulannya adalah Islam telah masuk ke Indonesia langsung dari Arab.
3.       Dari Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954), diterangkan bahwa kaum Muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dilakukan oleh para pedagang muslim yang selalu singgah di sumatera dalam perjalannya ke China.
4.       Dari Gerini dalam Futher India and Indo-Malay Archipelago, di dalamnya menjelaskan bahwa kaum Muslimin sudah ada di kawasan India, Indonesia, dan Malaya antara tahun 606-699 M.
5.       Prof. Sayed Naguib Al Attas dalam Preliminary Statemate on General Theory of Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (1969), di dalamnya mengungkapkan bahwa kaum muslimin sudah ada di kepulauan Malaya-Indonesia pada 672 M.
6.       Prof. Sayed Qodratullah Fatimy dalam Islam comes to Malaysia mengungkapkan bahwa pada tahun 674 M. kaum Muslimin Arab telah masuk ke Malaya.
7.       Prof. S. muhammmad Huseyn Nainar, dalam makalah ceramahnya berjudul Islam di India dan hubungannya dengan Indonesia, menyatakan bahwa beberapa sumber tertulis menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687 sudah ada hubungan dengan kaum muslimin Indonesia.
8.       W.P. Groeneveld dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled From Chinese sources, menjelaskan bahwa pada Hikayat Dinasti T’ang memberitahukan adanya Aarb muslim berkunjung ke Holing (Kalingga, tahun 674). (Ta Shih = Arab Muslim).
9.       T.W. Arnold dalam buku The Preching of Islam a History of The Propagation of The Moslem Faith, menjelaskan bahwa Islam datang dari Arab ke Indonesia pada tahun 1 Hijriyah (Abad 7 M).
  1. Islam Masuk Ke Indonesia pada Abad ke-11:
1.       Satu-satunya sumber ini adalah diketemukannya makam panjang di daerah Leran Manyar, Gresik, yaitu makam Fatimah Binti Maimun dan rombongannya. Pada makam itu terdapat prasati huruf Arab Riq’ah yang berangka tahun (dimasehikan 1082)
  1. Islam Masuk Ke Indonesia Pada Abad Ke-13:
1.       Catatan perjalanan Marcopolo, menyatakan bahwa ia menjumpai adanya kerajaan Islam Ferlec (mungkin Peureulack) di Aceh, pada tahun 1292 M.
2.       K.F.H. van Langen, berdasarkan berita China telah menyebut adanya kerajaan Pase (mungkin Pasai) di aceh pada 1298 M.
3.       J.P. Moquette dalam De Grafsteen te Pase en Grisse Vergeleken Met Dergelijk Monumenten uit hindoesten, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13.
4.       Beberapa sarjana barat seperti R.A Kern; C. Snouck Hurgronje; dan Schrieke, lebih cenderung menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke13.
5.       Pendapat ini juga disampaikan oleh N.H. Krom dan Van Den Berg. Namun, pendapat ini memperoleh sanggahan dari : H. Agus Salim, M. Zainal Arifin Abbas, Sayeg Alwi bin Tahir Alhada, H.M Zainuddin, Hamka, Djuned Parinduri, T.W. Arnold yang berpendapat Islam masuk ke Indonesia telah dimulai sejak abad ke7M.
Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikhtisarkannya menjadi tiga teori besar:
Pertama, teori Gujarat. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M.
Kedua, teori Mekkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M.
Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M.
Jika teori tersebut ditelaah lebih jauh, pendapat yang muncul akan cukup beragam. Bahkan beberapa diantaranya ada yang menyatakan bahwa Islam berasal dari Cina.
Terkait teori yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari anak benua India, misalnya, ternyata sejarawan tidak satu kata mengenai wilayah Gujarat. Pendapat Pijnappel yang juga disokong oleh C. Snouck Hurgronje, J.P. Moquette, E.O. Winstedt, B.J.O. Schrieke, dan lain-lainnya tersebut ternyata berbeda dengan yang dikemukakan oleh S.Q. Fatimi dan G.E. Morison. Pijnapel, seorang ahli Melayu dari Universitas Leiden, Belanda, mengemukakan teori ini pada tahun 1872. Menurut Azyumardi Azra teori ini diambil dari terjemahan Perancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marco polo dan Ibnu Battutah. Kesimpulan catatan Sulaiman menyebutkan bahwa Islam di Asia Tenggara dikembangkan oleh orang-orang Arab yang bermazhab Syafii dari Gujarat dan Malabar di India. Oleh karena itu, menurut teori ini,  Nusantara menerima Islam dari India. Kenyataan bahwa Islam di Nusantara berasal dari India menurut teori ini tidak menunjukkan secara meyakinkan dilihat dari segi pembawanya. Sebagaimana dikemukakan Pijnapel, bahwa Islam di Nusantara berasal dari orang-orang Arab yang bermazhab Syafii yang bermigrasi ke Gujarat dan Malabar. Pijnappel sebenarnya memandang bahwa Islam di Nusantara disebarkan oleh orang-orang Arab. Pandangan ini cukup memberikan pengertian bahwa pada hakekatnya penyebar Islam di Nusantara adalah orang-orang Arab yang telah bermukim di India. Penjelasan ini didasarkan pada seringnya kedua wilayah India dan Nusantara ini disebut dalam sejarah Nusantara klasik. Dalam penjelasan lebih lanjut, Pijnapel menyampaikan logika terbalik, yaitu bahwa meskipun Islam di Nusantara dianggap sebagai hasil kegiatan orang-orang Arab, tetapi hal ini tidak langsung datang dari Arab, melainkan dari India, terutama dari pesisir barat, dari Gujarat dan Malabar. Jika logika ini dibalik, maka dapat dinyatakan bahwa meskipun Islam di Nusantara berasal dari India, sesungguhnya ia dibawa oleh orang-orang Arab.
Pendukung lain teori ini adalah Snouck Hurgronje. Ia berpendapat bahwa, ketika Islam telah mengalami perkembangan dan cukup kuat di beberapa kota pelabuhan di anak benua India, sebagian kaum Muslim Deccan tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara. Orang-orang Deccan inilah, kata Hurgronje, datang ke dunia Melayu-Indonesia sebagai penyebar Islam pertama. Orang-orang Arab menyusul kemudian pada masa-masa selanjutnya. Hubungan perdagangan Timur Tengah dan Nusantara menjadi entry point untuk melihat kehadiran Islam di Nusantara. Tetapi karena secara geografis, anak benua India berada di antara Nusantara dan Timur Tengah, maka dapat dipastikan bahwa sebagian padagang Muslim Arab dan juga Persia singgah terlebih dahulu di India sebelum mencapai Nusantara. Kenyataan ini tentu tidak diabaikan Hurgronje, hanya saja ia menekankan peran bangsa India dalam penyebaran Islam di Nusantara. Mengenai waktu kedatangannya, Hurgronje tidak menyebutkan secara pasti. Ia juga tidak menyebutkan secara pasti wilayah mana di India yang dipandang sebagai tempat asal datangnya Islam di Nusantara. Ia hanya memberikan prediksi waktu, yakni abad ke-12 sebagai periode yang paling mungkin sebagai awal penyebaran Islam di Nusantara. Dari segi metodologi sejarah, ketidakpastian tentang waktu dan tempat adalah kesalahan fundamental, sehingga argumentasi Hurgronje terlalu lemah, untuk tidak mengatakan keliru.
Dukungan yang cukup argumentatif atas teori India disampaikan oleh W.F. Stutterheim. Ia menjawab aspek-aspek mendasar dalam sejarah, tentang di mana (ruang) dan kapan (waktu). Dengan jelas, ia menyebutkan Gujarat sebagai negeri asal Islam yang masuk ke Nusantara. Pendapatnya didasarkan pada argumen bahwa Islam disebarkan melalui jalur dagang antara Nusantara Cambay (Gujarat) Timur Tengah Eropa. Argumentasi ini diperkuat dengan pengamatannya terhadap nisan-nisan makam Nusantara yang diperbandingkan dengan nisan-nisan makam di wilayah Gujarat. Relief nisan Sultan pertama dari kerajaan Samudera (Pasai), al-Malik al-Saleh (1297 H), menurut pengamatan Stutterheim, bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat. Kenyataan ini cukup memberikan keyakinan pada dirinya bahwa Islam datang ke Nusantara dari Gujarat. Demikian ia menjelaskan aspek ruang kedatangan Islam ke Nusantara. Penjelasan ini cukup argumentatif dan didukung data yang memadai, tetapi Stutterheim tidak memperhatikan proses Islamisasi di Gujarat. Sebagaimana dijelaskan Marison, wilayah ini baru diislamkan satu tahun setelah wafatnya sang Sultan, yaitu pada 1298 M. Pada saat bersamaan penyebaran masyarakat Islam pada periode tersebut, ketika bangsa Mongol melebarkan ekspansinya (Bagdad ditaklukan pada 1258 M), mereka mulai mencari daerah baru bagi kehidupan mereka. Seandainya Stutterheim menyebutnya sebagai proses lebih lanjut dari Islamisasi Nusantara, misalnya perkembangan Islam pada abad 14-16, bisa jadi Gujarat ikut andil memberikan pengaruhnya di Nusantara mengingat daerah itu (Gujarat) lebih dekat secara geografis ke wilayah Nusantara. Walaupun terdapat kekurangan, teori yang dikemukakan Stutterheim mendapat dukungan dari Moquette, sarjana asal Belanda.
Penelitian Moquette terhadap bentuk batu nisan membawanya pada kesimpulan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat. Moquette menjelaskan bahwa bentuk batu nisan, khususnya di Pasai mirip dengan batu nisan pada makam Maulana Malik Ibrahim  (822 H/1419 M) di Gresik Jawa Timur. Sedangkan bentuk batu nisan di kedua wilayah itu sama dengan batu nisan yang terdapat di Cambay (Gujarat). Kesamaan bentuk pada nisan-nisan tersebut meyakinkan Moquette bahwa batu nisan itu diimpor dari India. Dengan demikian, Islam di Indonesia, menurutnya, berasal dari India, yaitu Gujarat. Teori ini kemudian dikenal juga dengan teori batu nisan.
Teori lainnya yang menjelaskan bahwa Islam berasal dari anak benua India dikemukakan oleh S.Q. Fatimi dan dikemukakan pula oleh Tome Pires. Ada beberapa alasan mengapa kedua tokoh ini berkeyakinan bahwa Islam berasal dari Benggal (Bangladesh sekarang). Tome Pires berpendapat bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Pendapat ini disetujui oleh Fatimi. Bahkan lebih jauh Fatimi menjelaskan, bahwa Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya adalah dari arah timur pantai, bukan dari barat Malaka, melalui Kanton, Pharang (Vietnam), Leran dan Trengganu. Proses awal Islamisasi ini, menurutnya, terjadi pada abad ke-11 M. Masa ini dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H atau 1082 M di Leran Gresik. Menurut M.C. Ricklef, ini adalah nisan kuburan Muslim tertua yang masih dapat ditemukan di wilayah ini. Berkenaan dengan teori batu nisan dari Stutterheim dan Moquette yang menyatakan Islam di Nusantara berasal dari India, Fatimi menentang keras pendapat ini. Menurutnya, bahwa menghubungkan seluruh batu nisan di Pasai dengan batu nisan dari Gujarat adalah suatu tindakan yang keliru. Berdasarkan hasil pengamatannya, Fatimi menyatakan, bentuk dan gaya batu nisan al-Malik al-Saleh berbeda dengan batu nisan yang ada di Gujarat. Ia berpendapat, bentuk dan gaya batu nisan itu mirip dengan batu nisan yang ada di Benggal. Oleh karena itu, batu nisan tersebut pasti didatangkan dari Benggal, bukan dari Gujarat. Analisis ini dipergunakan Fatimi untuk membangun teorinya yang menyatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Benggal. Tetapi terdapat kelemahan substansial pada Fatimi, bahwa perbedaan mazhab fikih yang dianut muslim Nusantara, yaitu para pengikut mazhab Syafii dengan para pengikut mazhab Hanafi tidak menjadi perhatiannya. Perbedaan mazhab fikih ini menjadikan teori Fatimi lemah dan tidak cukup kuat diyakini kebenarannya.
Marison, dengan penjelasannya yang lebih komprehensif, mengidentifikasi Coromandel atau Malabar sebagai daerah asal Islam di Nusantara dan itu terjadi pada akhir abad ke 13 M. Ia tidak membangun teorinya berdasarkan kemiripan batu nisan yang terdapat di beberapa tempat di Nusantara dengan yang ada di Gujarat, atau bahkan di Benggal Menurutnya, kemiripan tersebut tidak harus menunjukkan bahwa Islam Nusantara datang dari daerah-daerah tersebut. Argumentasi yang diajukannya dibangun berdasarkan riwayat Melayu dan laporan Marcopolo. Menurut berita-berita tersebut, ketika raja Pasai pertama wafat tahun 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Cambay, Gujarat baru ditaklukan penguasa Muslim satu tahun kemudian pada 699 H/1298 M. Sebelum Marison mengemukakan pandangan ini, Arnold telah menyebutkan hal serupa. Marison, dengan demikian, memperkuat pendapat Arnold yang menyebutkan bahwa Coromandel dan Malabar merupakan daerah asal kedatangan Islam ke Nusantara. Arnold mengemukakan pendapatnya berdasarkan kesaksian Ibnu Battutah ketika mengunjungi kawasan ini pada abad ke-14 dan juga didasarkan pada kesamaan mazhab fikih di antara keduanya, yaitu Syafiï.
Sedangkan tentang teori bahwa Islam Indonesia berasal langsung dari Mekkah antara lain dikemukakan oleh Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Nieman (1861), de Hollander (1861), dan Verth (1878). Tokoh dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang mendukung teori ini di antaranya Hamka, A. Hasymi, dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Al-Attas sebagai tokoh pendukung teori ini menyebutkan, bahwa aspek-aspek atau kerakteristik internal Islam harus menjadi perhatian penting dan sentral dalam melihat kedatangan Islam di Nusantara, bukan unsur-unsur luar atau aspek eksternal. Karakteristik ini dapat menjelaskan secara gamblang mengenai bentuk Islam yang berkembang di Nusantara. Lebih lanjut Al-Attas menjelaskan bahwa penulis-penulis yang diidentifikasi sebagai India dan kitab-kitab yang dinyatakan berasal dari India oleh sarjana Barat khususnya, sebenarnya adalah orang Arab dan berasal dari Arab atau Timur Tengah atau setidaknya Persia. Sejalan dengan hal ini, Hamka menyebutkan pula bahwa kehadiran Islam di Indonesia telah terjadi sejak abad ke-7 dan berasal dari Arabia sedangkan T.W. Arnold dan Crawford lebih didasarkan pada beberapa fakta tertulis dari beberapa pengembara Cina sekitar abad ke-7 M, dimana kala itu kekuatan Islam telah menjadi dominan dalam perdagangan Barat-Timur, bahwa ternyata di pesisir pantai Sumatera telah ada komunitas muslim yang terdiri dari pedagang asal Arab yang di antaranya melakukan pernikahan dengan perempuan-perempuan lokal. Pendapat ini didasarkan pada berita Cina yang menyebutkan, bahwa pada abad ke-7 terdapat sekelompok orang yang disebut Ta-shih yang bermukim di Kanton (Cina) dan Fo-lo-an (termasuk daerah Sriwijaya) serta adanya utusan Raja Ta-shih kepada Ratu Sima di Kalingga Jawa (654/655 M). Sebagian ahli menafsirkan Ta-shih sebagai orang Arab. Mengenai Raja Ta-shih tersebut, menurut Hamka, adalah Muawiyah bin Abu Sufyan yang saat itu menjabat sebagai Khalifah Daulah Bani Umayyah. Untuk meyakinkan asal usul Islam di Nusantara, seminar seputar masalah ini telah digelar beberapa kali. Seminar Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia telah diselenggarakan di Medan 17-20 Maret 1969 dan seminar serupa juga diadakan di Aceh pada 10-16 Juli 1978 dan 25-30 September 1980. Berdasarkan hasil seminar-seminar tersebut, disimpulkan bahwa Islam masuk ke Nusantara langsung dari Arabia, bukan India. Hasil seminar ini memperkuat teori bahwa Islam di Nusantara berasal dari Arab sebagaimana ditegaskan Al-Attas dan didukung oleh sejarawan Indonesia, seperti Hamka dan Muhammad Said. Kehadiran orang-orang Islam yang berasal dari Timur Tengah ke Nusantara(kebanyakan adalah dari Arab dan Persia) menurut Azyumardi Azra, ahli Islam di Asia Tenggara, terjadi pada abad ke-7. Masa-masa awal kehadiran Islam pertama kali dilaporkan oleh seorang agamawan dan pengembara terkenal dari Cina, bernama I-Tsing. Ia menginformasikan bahwa pada 51 H/671 M, ia menumpang kapal Arab dan Persia untuk berlayar dari Kanton dan berlabuh di pelabuhan muara sungai Bhoga, yang disebut juga Sribhoga atau Sribuza, yaitu Musi sekarang. Banyak sarjana modern mengidentifikasi Sribuza sebagai Palembang, ibukota kerajaan Budha Sriwijaya pada masa itu. Menurut Yuantchao kapal yang sampai di Palembang berjumlah sekitar 35 kapal dari Persia. Secara geografis, letak Sriwijaya yang berada di jalur perdagangan internasional memberi pengaruh besar terhadap dunia luar. Beperapa peristiwa yang terjadi di luar daerah kekuasaannya, misalnya perubahan politik di India yang saat itu di bawah hegemoni Buddha, menjadikan Sriwijaya sebagai wilayah Buddha yang dapat dijadikan pilihan. Ini menempatkan Sriwijaya sebagai pusat terkemuka keilmuwan Buddha di Nusantara. I-Tsing, yang menghabiskan beberapa tahun di Palembang dalam perjalanannya menuju ke dan kembali dari India, merekomendasikan Sriwijaya sebagai pusat keilmuwan Buddha yang baik bagi para penuntut ilmu agama ini sebelum mereka melanjutkan pelajaran ke India. Meskipun Sriwijaya sebagai pusat keilmuwan Buddha, tetapi ia memiliki watak yang kosmopolitan. Kondisi ini memungkinkan masuknya berbagai pengaruh atau ajaran lain, termasuk agama Islam. Watak Sriwijaya yang kosmopolitan itulah yang memungkinkan para pengungsi Muslim Arab dan Persia yang diusir dari Kanton setelah terjadi kerusuhan di sana, mereka melakukan eksodus menuju Palembang untuk mencari suaka politik dari penguasa setempat. Bukti lain yang menunjukkan bahwa Islam berasal dari Arab yaitu :
Terdapat juga sebuah kitab ‘Aja’ib al-Hind yang ditulis al-Ramhurmuzi sekitar tahun 1000 M, dikatakan bahwa para pedagang muslim telah banyak berkunjung kala itu ke kerajaan Sriwijaya
Menurut al Mas’udi pada tahun 916 telah berjumpa Komunitas Arab dari Oman, Hidramaut, Basrah, dan Bahrein untuk menyebarkan islam di lingkungannya, sekitar Sumatra, Jawa, dan Malaka.
Munculnya nama “kampong Arab” dan tradisi Arab di lingkungan masyarakat, yang banyak mengenalkan islam.
Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafii, dimana pengaruh mazhab Syafii terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah.


Teori Persia yang dikemukakan oleh sebagian sejarawan di Indonesia tampaknya kurang populer dibanding teori-teori sebelumnya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya pada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia.Kesamaan kebudayaan itu antara lain
Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan syiah atas kematian Husain. Biasanya diperingati dengan membuat bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut juga bulan Hasan-Husain.
Adanya kesamaan ajaran antara ajaran Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran Al-Hallaj, sekalipun Al-Hallaj telah meninggal pada 310H/922M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya.
Penggunan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Quran tingkat awal.
Teori Persia mendapat tentangan dari berbagai pihak, karena bila kita berpedoman kepada masuknya agama Islam pada abad ke-7, hal ini berarti terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Umayyah. Sedangkan, saat itu kepemimpinan Islam di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan berada di Mekkah, Madinah, Damaskus dan Baghdad. Jadi, belum memungkinkan bagi Persia untuk menduduki kepemimpinan dunia Islam saat itu.Namun, beberapa fakta lainnya menunjukkan bahwa para pedagang Persia menyebarkan Islam dengan beberapa bukti antar lain:
1.           Gelar “Syah” bagi raja-raja di Indonesia.
2.           Pengaruh aliran “Wihdatul Wujud” (Syeh Siti Jenar).
3.           Pengaruh madzab Syi’ah (Tabut Hasan dan Husen).
Teori lainnya menyatakan bahwa Islam juga berasal dari Cina. Teori ini sangat lemah, namun kemungkinan membawa Islam ke Indonesia sangat besar. Jika diketahui penyebar Islam adalah banyak mereka para wirausahawan, hubungan dagang antara Cina, Arab dan lainnya. Bahkan ketika Cina dipimpin Kubilai Khan, (akhir abad 13) Islam dijadikan agama resmi. Sedangkan Cheng Ho merupakan duta Cina untuk mengembalikan nama besar Cina setelah dipermalukan oleh Mongol. Ada 36 negara yang dikunjungi Cheng Ho, dan salah satunya adalah Indonesia.
Bukti lain yang cukup memperkuat bahwa Islam berasal dari Cina antar lain :
1.           Gedung Batu di semarang (masjid gaya China).
2.           Beberapa makam Cina muslim.
3.           Beberapa wali yang kemungkinkan keturunan China.
Dari beberapa bangsa yang membawa Islam ke Indonesia pada umumnya menggunakan pendekatan kultural, sehingga terjadi dialog budaya dan pergaulan sosial yang penuh toleransi (Umar kayam:1989).


SEJARAH ISLAM DI INDONESIA


Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).






TOKOH-TOKOH ISLAM INDONESIA TERKEMUKA


Sejak pertama kali Islam datang di Nusantara, Allah telah melahirkan tokoh-tokoh besar, para ulama, cendekiawan, panglima perang, serta pemimpin yang berjasa bagi negeri ini. Mereka berjuang dengan segenap ilmu, tenaga dan kemampuannya untuk kemajuan Islam dan kemaslahatan ummat. Sangat banyak bila harus dituliskan satu persatu,
karenanya, yang dicantumkan di halaman ini hanya sebagian kecil saja diantara mereka.
  • Para da'i pertama di Nusantara
  • Fathahillah (Fadhillah Khan Al-Pasai)
  • Nuruddin Ar-Raniri
  • Syaikh Yusuf Makassar
  • Pangeran Diponegoro
  • Tuanku Imam Bonjol
  • Teuku Umar
  • Syaikh Nawawi Al-Bantani
  • Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau
  • Syaikh Hasyim Asy'ari
  • Oemar Said Cokroaminoto
  • K.H. Ahmad Dahlan
  • K.H. A. Hassan
  • Buya HAMKA
  • Muhammad Natsir
  • Muhammad Amien Rais

REALITA ISLAM DI INDONESIA

Halaman Realita ini berisi berbagai kenyataan apa saja tentang Islam di Indonesia. Apakah kenyataan yang menggembirakan
atau justru yang menyedihkan dan memilukan. Anda bisa berpartisipasi dalam Realita dengan mengirimkan artikel yang
relevan, sumber beritanya shahih dan isinya tidak memancing perpecahan ummat, serta dibuat dalam dua versi, Indonesia dan Inggris.



SEJARAH INDONESIA DEKAT DENGAN PALESTINA

Sejarah bangsa Indonesia wabil khusus sejarah umat muslimnya sangat dekat dengan bangsa Palestina. Fakta sejarahnya ada sampai sekarang ini, adalah kota Kudus, masjid Al Aqsha, madzhab Imam Asy Syafi’i, pengakuan kemerdekaan dan penjajahan.
Apa hubungannya semua itu dengan Palestina?
Fakta pertama, Adalah Syaikh Ja’far Shadiq juru dakwah sekaligus panglima perang kerajaan Demak, sebelum akhirnya beliau hijrah ke kota Tajug, kota sebelah utara Demak. Ja’far Shodiq yang lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kudus itu menamakan masjid yang dibangunnya pada tahun 956 H. atau 1530 M. dengan Masjidil Aqsha. Dalam prasasti pendirian masjid tertuliskan: “Telah dibangun Masjidil Aqsha fil Quds” Maksud beliau adalah penamaan ini meniru apa yang ada di Palestina, yaitu masjidil Aqsha di Kota Quds. Sehingga beliau merubah nama kota Tajung menjadi kota Kudus.
Apakah Sunan Kudus pernah mengadakan pengembaraan ilmiyah ke Timur Tengah, terutama Palestina? –ada referensi yang menulis demikian-, atau beliau hanya membaca sejarah Palestina lewat referensi buku?, keduanya ini masih menjadi penelitian penulis. Yang jelas penamaan hal di atas bukan tanpa maksud, bukan tanpa disengaja. Justeru karena pengetahuan beliau terhadap sejarah Palestina, sehingga dengan bangga beliau menjadikannya nama di negerinya.
Masjidil Aqsha dengan menaranya yang demikian tegar sampai sekarang yang berlokasi di tengah kota Kudus ini menjadi kebanggaan umat muslim, tidak hanya di Indonesia bahkan di manca negara. Menjadi tempat yang dikunjungi. Rahimahullah Syaikh Ja’far Shodiq.
Fakta kedua, adalah Imam Asy Syafi’i, salah satu imam mazhab besar yang empat, madzhabnya dijadikan sebagai acuan sebagian besar umat muslim di Indonesia. Siapa Imam Asy Syafi’i? Beliau adalah Muhmmad bin Idris Asy Syafi’i, lahir di kota Ghozzah atau Gaza, Palestina pada tahun 150 H atau 767 M. beliau masih ada nasab dengan nabi Muhamamd saw., ia termasuk dari Bani Muththalib, saudara dari Bani Hasyim, Kakek Rasulullah saw.
Fakta ketiga, Bahwa yang pertama kali menyuarakan kemerdekaan Indonesia adalah bangsa Palestina. Gong dukungan untuk kemerdekaan Indonesia ini dimulai dari Palestina dan Mesir, seperti dikutip dari buku “Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri” yang ditulis oleh Ketua Panitia Pusat Perkumpulan kemerdekaan Indonesia , M. Zein Hassan Lc. Buku ini diberi kata sambutan oleh Moh. Hatta (Proklamator & Wakil Presiden pertama RI), M. Natsir (mantan Perdana Menteri
RI), Adam Malik (Menteri Luar Negeri RI ketika buku ini diterbitkan), dan Jenderal (Besar) A.H. Nasution.
M. Zein Hassan Lc. sebagai pelaku sejarah, menyatakan dalam bukunya pada hal. 40, menjelaskan tentang peran serta, opini dan dukungan nyata Palestina terhadap kemerdekaan Indonesia, di saat negara-negara lain belum berani untuk memutuskan sikap. Dukungan Palestina ini diwakili oleh Syekh Muhammad Amin Al-Husaini -mufti besar Palestina- secara terbuka mengenai kemerdekaan Indonesia:

“.., pada 6 September 1944, Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan ‘ucapan selamat’ mufti Besar Palestina Amin Al-Husaini (beliau melarikan diri ke Jerman pada permulaan perang dunia ke dua) kepada Alam Islami, bertepatan ‘pengakuan Jepang’ atas kemerdekaan Indonesia . Berita yang disiarkan radio tersebut dua hari berturut- turut, kami sebar-luaskan, bahkan harian “Al-Ahram” yang terkenal telitinya juga menyiarkan.” Syekh Muhammad Amin Al-Husaini dalam kapasitasnya sebagai mufti Palestina juga berkenan menyambut kedatangan delegasi “Panitia Pusat Kemerdekaan Indonesia ” dan memberi dukungan penuh.”
Peristiwa bersejarah tersebut tidak banyak diketahui generasi sekarang, mungkin juga para pejabat di negeri ini.
Bahkan dukungan ini telah dimulai setahun sebelum Sukarno-Hatta benar-benar memproklamirkan kemerdekaan RI. Tersebutlah seorang Palestina yang sangat bersimpati terhadap perjuangan Indonesia , Muhammad Ali Taher. Beliau adalah seorang saudagar kaya Palestina yang spontan menyerahkan seluruh uangnya di Bank Arabia tanpa meminta tanda bukti dan berkata: “Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia ..”
Setelah seruan itu, maka negara daulat yang berani mengakui kedaulatan RI pertama kali adalah Negara Mesir tahun 1949. Pengakuan resmi Mesir itu (yang disusul oleh negara-negara Timur Tengah lainnya) menjadi modal besar bagi RI untuk secara sah diakui sebagai negara yang merdeka dan berdaulat penuh. Pengakuan itu membuat RI berdiri sejajar dengan Belanda (juga dengan negara-negara merdeka lainnya) dalam segala macam perundingan dan pembahasan tentang Indonesia di lembaga internasional.
Fakta keempat Adalah adanya kesamaan dijajah, bedanya kalau Indonesia sudah terlepas dari penjajah, sedangkan Palestina sampai sekarang ini masih dijajah Zionis Israel.
Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa akar masalah dari bangsa Palestina adalah penjajahan Zionis Israel terhadap bumi Palestina, itulah yang diungkapkan oleh Menlu RI, Hasan Wirayuda menanggapi agresi Israel ke Palestina akhir tahun 2008 yang lalu. Sehingga Indonesia sangat peduli dengan kondisi Palestina, ini sebagai bukti pengejawantahan amanat konstitusi bangsa ini “…bahwa kemerdekaan adalah hak suatu bangsa, oleh karena itu segela bentuk penjajahan harus dihapuskan di atas muka bumi.”
Karenanya wajar jika rakyat Palestina bersama-sama pemerintahannya mengadakan perlawanan, sebagaimana bangsa ini terdahulu, rakyat dan para pejuangnya melawan penjajah, mereka bangga dengan pemimpinnya, bahkan kita pun memperingatinya setiap tahun sekali sebagai hari pahlawan.
Demikian juga rakyat Palestina, mereka bangga dan mendukung penuh gerakan perlawanan bangsanya menentang Zionis Israel.
Ini beberapa catatan fakta sejarah yang menguatkan hubungan Indonesia dan Palestina, sehingga bangsa Indonesia akan terus peduli dengan Palestina, sampai Palestina merdeka, sampai masjidil Aqsha yang sekarang masih di bawah cengkeraman Zionis Israel terbebaskan, sampai boklade atas Gaza dicabut, sampai pintu-pintu perbatasan dibuka. Sampai Palestina menjadi negara berdaulat, sejajar dengan bangsa lain. Allahu a’lam.



Pasai dan Persebaran Islam di Asia Tenggara

Kapan pastinya Islam pertama kali masuk ke Pasai, belum diketahui secara pasti, apalagi jika masuknya Islam itu didasarkan kepada mulai adanya masyarakat Islam di sana. Bila kriteria yang dipakai didasarkan pada terbentuknya sistem politik, berupa lembaga kerajaan yang bercorak Islam, dapat dikatakan bahwa Kerajaan Islam Pasai terbentuk pada abad ke-13.
Tentang masuknya Islam ke Pasai, Hikayat Raja-raja Pasai menyebutkan bahwa, “Älkisah peri mengatakan cerita yang pertama masuk agama Islam ini Pasai. Maka ada diceritakan oleh orang yang empunya cerita ini negeri yang dibawah angin ini pertama membawa iman akan Allah dan akan Rasul Allah”.

Sumber informasi ini berasal dari abad ke-15. Sementara itu, sumber informasi dari Dinasti Yuan menyebutkan, bahwa pada tahun 1282, dua utusan dari Su-mu-ta (Samudra) tiba istana Cina. Berita ini oleh De Jong dipakai sebagai dasar menetapkan bahwa Kerajaan Pasai merupakan suatu kerajaan Islam di Pantai utara Pulau Sumatera yang telah muncul kira-kira sebelum pengiriman utusan tersebut.
Peninggalan arkeologis menunjukan bahwa raja pertama, yang disebut dalam tradisi seperti yang terdapat dalam Hikayat Raja-raja Pasai bernama Merah Silu atau Sultan Malikus Saleh, mangkat pada bulan Ramadhan tahun 696 Hijriah atau 1297 M. Dengan demikian ia disebut sebagai Raja Islam pertama di Kerajaan Pasai itu. Sejarah Malayu menyebutkan bahwa Malikus Saleh Raja Pasai itu, yang sebelum memeluk agama Islam bernama Merah Silu, memakai nama Malikus Saleh setelah ia menjadi penganut Agama Islam. Ia menikahi putri Perlak dan memperoleh dua orang putra, yakni, Malik Al-Zahir dan Malik Al-Mansur.
Peranan penting yang dimainkan Pasai dalam penyebaran Islam ke seluruh Nusantara dimungkinkan karena hubungan itu berkaitan erat dengan kegiatan perdagangan yang didalamnya juga terdapat kegiatan para pedagang yang sekaligus bertindak sebagai pendakwah. Pasai yang terkait dengan kegiatan perdagangan dengan berbagai kerajaan lain di kawasan ini, dengan mudah menggunakan jaringan itu untuk tujuan pengembangan agama Islam.
Sumber informasi dari Dinasti Yuan menyebutkan bahwa pada tahun 1282 Kerajaan Pasai mengirimkan dua orang utusan yang bernama Sulaiman dan Samsuddin ke Istana Kaisar Cina. Informasi ini menunjukan bahwa orang-orang Islam telah menduduki posisi penting dalam pemerintahan di Kerajaan Pasai yang dipimpin Malik Al-Saleh. Kedua orang ini diperkirakan sebagai pedagang Islam yang bermukim atau menduduki posisi penting dalam pemerintahan.
Pada pusat pemerintahan di Pasai, kegiatan keagamaan cukup semarak, hal ini terutama dapat diperlihatkan kehidupan keagamaan di istana. Contoh kongkrit tentang hal ini ialah pada masa pemerintahan Malik Al-Zahir, Ibnu Batulah menyebutkan kunjungannya ke sana pada tahun 1345 dan Sultan yang memerintah ialah Sultan Malik Al-Zahir, seorang raja yang taat kepada ajaran Nabi Muhammad SAW dan baginda senantiasa dikelilingi oleh para ahli agama teologi Islam di antaranya ialah Qadi Syarif Amir Sayyid dari Shiraz, dan Tajal-Din dari Isfahan. Ditinjau dari sudut perkembangan agama Islam, Pasai dapat kita katakan sebagai pusat penyiaran agama Islam di Nusantara dan kawasan Asia Tenggara.
Salatussalihin atau Sejarah Melayu (edisi Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi) menceritakan bahwa di tanah Arab ada seorang alim bernama Maulana Abu Ishak yang sangat paham akan ilmu tasawuf. Ia mengarang kitab Durru’l-Manzum dan mengajarkan isi kitab ini kepada muridnya Abu Bakar. Kemudian muridnya dikirimkannya ke Malaka untuk mengajarkan isi kitab ini kepada muridnya Sultan Malaka Mansyur Syah sangat memuliakan Maulana Abu Bakar dan baginda berguru kepada Maulana itu. Sultan Mansyur Syah mengirimkan kitab itu ke Pasai dan Sultan Pasai diartikan kepada Makhdum Petakan, salah seorang alim di Kerajaan Pasai. Hasilnya diantarkan ke Malaka dan Sultan Mansyur Syah terlalu suka cita melihat kitab itu sudah bermakna. Baginda menunjukkan kitab Durru’l-Manzum yang dikirim dari Pasai kepada Maulana Abu Bakar itu diperkenankan di hati serta dipujinya ulama Pasai itu.
Kisah tentang penerjemah kitab Durru’l-Manzum yang disebut di atas dikutip dari Teuku Ibrahim Alfian, yang selanjutnya juga melukiskan sebuah riwayat yang lain diambil dari Sejarah Melayu, bahwa ketika timbul masalah mengenai “Apakah segala isi syurga itu, kekalkah ia dalam syurga dan segala isi neraka itu, kekalkah ia di dalam neraka”, Sultan Mansyur Syah, mengutus Tun Bija Wangsa untuk bertanya akan masalah itu ke Pasai.
Sultan Pasai bertitah kepada Makhdum Muda untuk menyiapkan jawaban terhadap masalah itu, lalu dibawakan kepada Maulanda Abu Bakar. Sultan Malaka memuji Makhdum dan dua orang sahaya perempuan peranakan Makasar bernama Daeng Bunga dan Daeng Bibah.
Hubungan antara Pasai dengan Malaka dan juga dengan daerah-daerah lain di kawasan Asia Tenggara telah terjalin sejak adanya hubungan perdagangan Selat Malaka. Agama Islam pun mulai dianut di beberapa tempat di Asia Tenggara, terutama di Semenanjung Melayu dan di pesisir utara Pulau Jawa. Hubungan pelayaran dan perdagangan antara Samudera Pasai dengan Semenanjung Melayu lambat-laun menyebabkan terbentuknya masyarakat muslim di sana, antara lain di Trengganu yang dibuktikan oleh temuan batu bersurat dengan huruf Arab yang berbahasa Melayu. Batu itu bertanggal Jum’at 22 Februari 1303 M.
Hubungan pelayaran dan perdagangan antara Samudera Pasai dan Malaka jauh sebelum abad ke-15, lambat-laun menyebabkan pula timbulnya masyarakat muslim di Malaka, bahkan juga di kalangan bangsawan atau raja-raja. Raja Malaka yang dikenal sebagai Paramisora mengambil puteri dari Pasai sebagai isterinya, kira-kira pada tahun 1414. Hubungan perdagangan amat dimajukan antara dua kerajaan tersebut. Pada waktu itu pun mata uang emas (dirham) yang sudah dikenal di Samudera Pasai, dikenalkan pula kepada raja dan masyarakat Malaka.
Kejayaan pertama agama Islam di Malaka amat dipengaruhi masuknya Paramisora ke dalam agama Islam. Setelah memperistrikan puteri dari Pasai, ia juga mengubah namanya menjadi Sultan Muhammad Iskandar. Adanya pengaruh yang besar dari Pasai dalam pengislaman Malaka juga dibuktikan bahwa pada waktu Bandar Malaka mulai bangkit dan Pasai mengalami kemunduran, para pedagang Islam, orang-orang Arab maupun India dari Pasai pindah ke Malaka.
Bukti lain tentang pengaruh Pasai terhadap Malaka, ialah dari kisah Sultan Malaka yang selalu menanyakan soal-soal yang pelik dalam agama kepada raja Pasai, seperti telah disebutkan. Pengaruh Pasai juga berlangsung atas Kedah, meskipun Kedah juga berada di bawah kekuasaan Siam. Melalui kedah muballig-muballig Islam dari Pasai menyebarkan agama Islam ke daerah-daerah lain di Semenanjung Melayu, yang terletak lebih ke pedalaman sampai ke Trengganu. Pengaruh Pasai yang telah ada di sebelah utara Semenanjung Melayu juga mengakibatkan besarnya pengaruh terhadap raja-raja Malaka yang pertama, yang mengawini puteri Pasai.
Hubungan antara Pasai dengan daerah-daearah lain di Indonesia seperti Pulau Jawa, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Lombok, dan Sumbawa dibuktikan oleh adanya kesamaan bentuk nisan kubur yang terdapat di Pasai dengan daerah-daerah yang disebutkan. Makam Maulana Malik Ibrahim di Jawa Timur misalnya, menunjukkan persamaan dengan makam Nahrasiyah di Pasai dan dengan makam yang ada di Cambay. Pembuktian melalui bentuk makam kuburan seperti yang dijelaskan Hasan Muarif Ambary berhasil memperkuat sumber-sumber hikayat dan berita-berita asing sebelumnya.
Pemberitaan dari jenis hikayat itu, misalnya seperti yang dijelaskan Uka Tjandrasasmita mengenai pengaruh Pasai terhadap Jawa Barat berdasarkan Babad Cirebon dan Purwaka Caruban Nagari. Dari sumber itu tergambar bahwa tokoh yang mengislamkan Jayakarta dari Banten adalah Fadilah Khan yang berasal dari Pasai. Berdasarkan sumber itulah Uka Tjandrasasmita berkesimpulan bahwa Pasai berperan besar dalam proses pengembangan Islam di pesisir utara Jawa, Jawa Timur sampai Jawa Barat.
Masuknya Islam di Uzbekistan
Kekalahan Asia bagian Tengah oleh Arab Islam, yang mana di selesaikan pada abad ke delapan AD, membawa sebuah agama baru ke daerah dan kultur dan terus menjadi yang paling berpengaruh. Arab sudah lebih dulu di serang pada abad ketujuh melalui serangan yang sekali-kali pada masa mereka menyerang Persia. Berita ini bisa di dapat diatas kemenangan Arab merencanakan yang Soghdians dan Iran serta rakyat Asia bagian Tengah semua yang tidak mampu ke Arab karena bagian dalam dan kekurangan orang asli pribumi untuk dijadikan pimpinan.
Arab sebaliknya, dipimpin oleh suatu pimpinan yang pandai, serang islam Ibn Qutaybah, yang dengan semangatnya disebabkan oleh keinginan menyebarkan kepercayaan baru mereka (secara resmi di mulai pada tahun 622 AD). Karena faktor ini, penduduk Mawarannahr dengan mudah di taklukan. Agama baru itu dibawa oleh bangsa Arab yang akhirnya merata dengan cara sedikit demi sedikit di daerah tersebut.
Kebudayaan penduduk asli, yang mana di dalam kebudayaan tersebut sudah masuk sedikit pengaruh Persia. Dirubah lebih jauh lagi sebelum Arab tiba di daerah tersebut, dimana perubahan di gantikan jadi abad. Namun dengan demikian Asia bagian Tengah sebagai daerah islam dengan tegas dan tidak bisa di pungkiri bahwa kemenangan Arab atas tentara angkatan darat China pada tahun 750 dalam suatu peperangan di Sungai Talas. Dibawah kekuasaan Arab, Asia Bagian Tengah kebanyakan menahan karakter dari Iran, Tinggal suatu pusat kebudayaan yang penting dan pusat perdagangan untuk abad sesudah kemenangan Arab. Walau bagaimanapun, sampai abad kesepuluh bahasa untuk pemerintah, kesusasteraan, dan perdagangan bahasa Arab. Mawarannahr seorang pemain politik yang penting didalam urusan daerah, dia memiliki beberapa dinasti Persia.
Pada kenyataannya kalifah Abbasidm yang mana memerintah Arab pada tahun kelima yang di mulai pada tahun 750, diresmikan secara besar-besaran dengan bantuan pusat pendukung Asia yang berjuang menentang Umayyad yang berpengaruh sebagai kalifah. Semasa pemerintahan khalifah Abbasid pada abad kedelapan, Asia bagian Tengah dan Mawarannahr mengalami suatu kebenaran yang bagaikan emas. Bukhoro menjadi salah satu pusat yang di perkenalkan untuk tempat belajar, kebudayaan, dan kesenian di dunia Islam, persaingan keindahan yang mengagumkan pusat budaya terjadi pada saat yang bersamaan seperti di Baghdad, Kaherah, dan Cordoba. Beberapa orang ahli sejarah yang terbaik, ahli sains, dan ahli ilmu bumi di dalam sejarah kebudayaan islam adalah penduduk asli di daerah itu.
Sebagai khalifah Abbasid mulai memperlemah dan orang Iran yang islam muncul sebagai pembatas antara Iran dan Asia bagian Tengah, bahasa Persia mendapat peranan yang penting di daerah ini sebagai bahasa kesusasteraan dan pemerintahan. Pembatas antara pemerintah Iran bagian timur dan Mawarannahr adalah Persia. Berada dibawah Samanid dan Buyid, yang memajukan kebudayaan yang baik untuk Mawarannhr.
Masuknya Islam di Pakistan
Negara Pakistan muncul pada peta dunia 14 Agustus 1947. Pakistan didirikan pada saat puncak perlawanan Kaum Muslim di kawasan Asia Selatan yang berusaha memisahkan diri dari negerinya dan dikeluarkan ketika Mohammad bin Qasim pada tahun 711 AD, sebagai tindakan balas dendam terhadap bajak laut yang menyerang, diambil sebagai tempat perlindungan Kerajaan Raja Dahir.
Datangnya Islam memperkuat sejarah kepribadian didaerah ini, baik didaerah yang sekarang dikenal sebagai Pakistan maupun daerah diluar perbatasannya. Batu-batu tua yang antik peninggalan jaman dulu ditemukan di Lembah Soan suatu daerah dekat Rawalpindi, berumur sekitar 500.000 tahun. Tidak ada kerangka manusia ditemukan didaerah ini, hanya batu-batu kasar perkakas yang ditemukan dari dataran Soan.
Mengangkat hikayat/cerita dari aktifitas kerja keras manusia dan pekerja pada periode antar-diglacial. Batu-batu tua sebagai perlengkapan/peralatan pria ini merupakan suatu alat homogen untuk membenarkan kelompok mereka kedalam sebuah bentuk kebudayaan yang disebut Budaya Soan. Kira-kira 3000 sebelum masehi, ditengah lembah keanginan dan kaki bukit Balochistan, dalam komunitas desa kecil dibangun dan dimulai mengambil langkah pertama yang ragu-ragu untuk menuju peradaban.
Disini, kita menemukan kelanjutan cerita dari kegiatan manusia yang masih menggunakan batu-batu. Pada jaman pra-sejarah, kaum pria mendirikan suatu penyelesaian bagi mereka, kedua golongan dari mereka yaitu kaum pekerja dan petani, di lembah atau dataran pinggiran dengan hidup beternak dan menanam gandum ataupun hasil panen lainnya. Budaya Red dan Buffer dengan hati-hati menggali gundukan prasejarah dari daerah ini dan mengklasifikasi isi kandungan mereka, lapisan demi lapisan, dikelompokkan dalam dua kategori yaitu Kebudayaan Red Ware and Kebudayaan Buff Ware(karya).
Suatu bentuk kebudayaan yang popular, dikenal sebagai Budaya Zhob di bagian utara Balochistan, yang kemudian meliputi Quetta, Amri Nal dan Budaya Kulli dari Sindh dan Balochistan selatan. Desa Amri Nal atau kota yang memiliki tembok batu dan dinding benteng yang berpondasi batu, sebagai pertahanan dan rumah mereka.
Di Nal, sebuah kuburan yang luas terdiri dari sekitar 100 kuburan. Sebuah sisi yang menarik dari kemajemukan budaya ini, di Amri dan daerah lainnya, ditemukan budaya yang sangat istimewa yaitu budaya lembah sungai Indus. Pada daerah lainnya, tanda/cap dari Nal dan peralatan dari bahan tembaga dan jenis lainnya dari dekorasi guci menunjukkan sebagian tumpang tindih antara keduanya.
Kemungkinan ini menjelaskan satu dari masyarakat lokal, dimana didirikannya suatu lingkungan untuk perkembangan peradaban lembah sungai Indus. Jaman pra-sejarah dari Kot Diji di popinsi Sindh menyediakan informasi yang bermanfaat untuk rekonstruksi dari hubungan cerita, yang mana dapat mendorong kembali ke-aslian dari sistem peradaban dari 300 sampai 500 tahun, mulai abas 2500 sebelum masehi sampai 2800 sebelum sebelum masehi. Bukti dari elemen budaya jaman pra-harappan mulai diusut pada masa ini. Peradaban pra-Harappan yaitu ketika komunitas daerah primitif di Balochistan tetap berjuang melawan sebuah kesulitan dalam lingkungan daerah pegunungan, manusia/orang yang beradab mencoba untuk menegaskan diri mereka di Kot Diji, salah satu dari banyaknya daerah urban dengan tingkat peradaban yang maju, yang mana tumbuh subur dan makmur antara tahun 2500 dan 1500 sebelum masehi di lembah sungai Indus dari Moenjodaro dan Harappa.
Masyarakat lembah sungai indus ini memiliki suatu taraf kesenian yang tinggi dan keahlian /ketrampilan yang baik mengembangkan sistem tulisan bergambar (pictograp). Walaupun dengan usaha yang tetap berlanjut peninggalan tidak teruraikan. Puing-puing peninggalan yang indah/mengagumkan merancang Moenjodaro dan kota Harappa, ini merupakan bukti yang jelas dari masyarakat pada waktu itu dimana memiliki cara hidup dan menggunakan peralatan yang sama.
Sesungguhnya, bangunan batu bata dari masyarakat pada umumnya, kamar mandi umum, jalan dan sistem saluran pembuangan air menggambarkan suatu kebahagiaan. Pada peradaban Aryan atau sekitar tahun 1500 sebelum masehi, Aryans turun ke Punjab dan menetapkan pendiriannya di Sapta Sindhu, yang mana menandakan dataran Indus tersebut.
Mereka membangun suatu masyarakat desa yang berkembang ke dalam peradaban Rigvedic. Rigveda penuh dengan nyanyian pujian untuk daerah ini, yang mana mereka gambarkan sebagai "Cara Tuhan". Ini terlihat jelas selama Sapta Sindhu ditetapkan sebagai inti dari Peradaban Aryan, yang mana bebas dari sistem kasta. Institusi kasta dan ritual pengorbanan yang kompleks itu mulai terbentuk di lembah Gangetic.
Terdapat ketidak-raguan bahwa peradaban Indus itu menyumbangkan banyak perkembangan terhadap peradaban Aryan. Kebudayaan Gandhara ditemukan dari kuburan Gandhara di Dir dan pukulan merupakan suatu cara dalam sorotan cahaya pada periode sejarah kebudayaan Pakistan antara akhir kebudayaan Indus dalam tahun 1500 sebelum masehi, dan permulaan periode bersejarah di bawah Achaemenians pada abad ke-enam sebelum masehi.
Mitologi Orang Hindu dan tradisi kepustakaan Sanskrit nampaknya menganggap kerusakan dari Peradaban Indus ke Aryans, tetapi apa benar-benar terjadi, mesih merupakan sebuah misteri. Kebudayaan kuburan Gandhara telah membuka dua periode di dalam warisan kebudayaan dari Pakistan: kebudayaan perunggu tua dan besi tua.
Dinamakan demikian oleh karena kebudayaan tersebut menyampaikan suatu pola aneh dari kehidupan di perbukitan dari daerah Gandhara, ini dibuktikan dari kuburan-kuburan yang ada. Kebudayaan ini berbeda daripada kebudayaan Indus dan mempunyai hubungan sedikit dengan kebudayaan desa dari Balochistan.
Stratigrafi seperti artefak yang ditemukan dari daerah ini disarankan bahwa Aryan dipindah ke dalam bagian dunia, ini antara tahun 1500 dan 600 sebelum masehi. Pada abad ke-enam sebelum masehi, Buddha mulai menyebarkan ajarannya, yang mana kemudian ke-seluruh bagian utara Asia-Selatan. Hal itu menuju akhir dari abad ini, bahwa Darius I Iran mengorganisir Sindh dan Punjab sebagai satrapy ke-dua puluh dari kerajannya. Terdapat kesamaan yang luar biasa antara organisasi dari kerajaan besar itu dan kerajaan Mauryan pada abad ke-tiga sebelum masehi, ketika Kautilya Arthshastra juga menunjukkan suatu pengaruh Persia yang kuat, Alexander Macedonia setelah mengalahkan Darius III di dalam tahun 330 sebelum masehi dan juga barisan di Asia-Selatan ke sungai Beas, tetapi pengaruh bangsa Yunani pada daerah ini nampaknya telah dibatasi untuk memberi kontribusi sedikit untuk pendirian kerajaan Mauryan.
Kerajaan besar Asoka, cucu dari Chandragupta Maurya, dibangun di sub benua termasuk bagian kecil dari lembah Indus yang mana dikenal sebagai Punjab bagian utara. Daerah Indus yang lain tidak dapat ditaklukkan olehnya Daerah ini, yang mana sekarang membentuk bagian substansi dari Pakistan, sebenarnya bebas dari Guptas pada abad ke-empat AD sampai kenaikan kesultanan Delhi di abad ke-tiga belas. Seni Gandhara, salah satu harta Pakistan yang paling berharga, tumbuh berkembang pada periode selama selama 500 tahun (dari abad pertama ke kelima AD. ), di lembah Peshawar dan daerah perbukitan yang bersebelahan dengan Swat, Buner dan Bajaur.
Kesenian ini merupakan suatu fase lain kebudayaan Renaissance dari daerah tersebut. Itu adalah produk campuran India, Buddha dan seni pakat/ukir Roma-Greco. Seni Gandhara di dalam permulaannya menerima perlindungan Kanishka, pada masa pemerintahan besar Kushan, yang menguasai jalur sutra sampai ke Peshawar dan lembah sungai Indus, dimana membawa kemakmuran kepada seluruh daerah.
Kedatangan Islam, pengikut pertama nabi Muhammad (Kedamaian atas dia), menjajaki tanah di sub-benua Asia-Selatan yang merupakan pedagang dari tanah pesisir Arab dan Teluk Persia, segera setelah masuknya Islam pada awal abad ketujuh AD. Tempat pertama Islam berpijak di dalam subkontinen itu dicapai dengan penaklukan Sindh oleh Mohammad bin Qasim di dalam 711 AD. Suatu otonomi negara Islam yang menghubungkan dengan Umayyed, dan Abbassid Caliphate didirikan dengan hukum perundangan yang diperluas sampai ke bagian selatan dan pusat Pakistan kini. Ada banyak kota baru didirikan, dan Bahasa Arab diperkenalkan sebagai bahasa rasmi.
Pada saat Mahmud melakukan penyerbuan Ghazna, aturan Islam tetap eksis, walaupun dalam bentuk kelemahan, di Multan dan daerah lainnya. Ghaznavids (976-1148) dan pengganti mereka, Ghaurids (1148-1206) , adalah penduduk asli dari Asia Pusat dan mereka memerintah wilayah-wilayah mereka, secara keseluruhan di daerah Pakistan kini, (kota-kota di luar India). Bahwa pendirian aturan Islam di India dan diperluas kedaerah sekitarnya dan Dehli sebagai ibu kota negara berada pada awal abad ketiga belas. Sejak tahun 1206 sampai 1526 A.D, lima dinasti yang berbeda menahan goyangan.
Kemudian diikuti periode dari Kekuasaan Mughal (1526-1707) dan diteruskan oleh aturan mereka, walaupun secara yang tertulis saja, sampai tahun 1857. Dari masa Ghaznavids, Persia lebih kurang menggantikan Bahasa Arab sebagai bahasa rasmi. Institusi ekonomi, politik dan agama dikembangkan oleh Kaum Islam yang jemu terhadap kesan unik mereka. Undang-undang Negara berdasarkan Shariah dan pada dasarnya aturan tersebut pasti dilaksanakan oleh pemerintah itu.
Melewati periode panjang yang longgar secara umum diikuti oleh penguatan undang-undang ini di bawah tekanan publik. Kesan Islam pada sub-benua Asia-Selatan sangat dalam dan dalam jangkauan yang cukup luas. Islam diperkenalkan bukan merupakan suatu agama baru saja, tetapi suatu peradaban baru, suatu cara baru dalam kehidupan dan set nilai yang baru.
Seni dan kesusasteraan dari tradisi Islam, suatu kebudayaan dan pemurnian yang halus, institusi sosial dan kesejahteraan, didirikan dengan aturan Islam di seluruh sub-benua. Sebuah bahasa baru, Urdu berasal terutama dari Bahasa Arab dan perbendaharaan kata bangsa Persia, diambil dari kata-kata asli dan ungkapan, diucapkan dan ditulis oleh kaum Islam dan didapatkannya mata uang selama untuk penduduk India.
Sejarah Masuknya Islam ke Cina

JIHAD DI CINA
Banyak orang heran mendengar ttg Jihad Muslim di Cina. Tetapi ini jelas terjadi.

Dawat-ul-Islam (undangan utk memeluk Islam) yg dikirim ke negara2 spt Persia yg Zoroastrian, Bizantin yg Kristen dan raja2 Kerala Hindu, juga dikirim ke kaisar Cina. Cuma kaisar Cina tidak mengerti ultimatum itu dan menyangka bahwa para ini merupakan pesan spiritual. Satu abad kemudian pd thn 751, baru orang Cina bertatapan muka dgn bahaya Islam.

Selama thn 700-an, dibawah dinasti T'ang kekaisaran Cina sukses dlm politik luar negerinya. Mereka merebut kembali wilayah2 mereka dan menstabilisasi frontier Tibet. Mereka mengamankan rute dagang melewati Asia Tengah dan membungkam ancaman2 dari orang2 Khitan dan Hsi. Akhir th 740an, pasukan Cina menyatakan kepemilikan atas Kabul dan Kashmir di India. Tetapi kemenangan ini tidak berlangsung lama.

Mereka harus berhadapan dgn agresi Islam yg datang dari Persia. Kedua kekuatan ekspansionis itu akhirnya bertatapan di Asia Tengah dan pecahlah perang di Sungai Talas, satu2nya perang antara pasukan Muslim Arab dgn tentara Kekaisaran Cina. Cina dipimpin Kao Hsien-chih dgn pasukan 100,000 orang Cina, Muslim dipimpin Ziyad ibn Salih, wakil Abu Muslim (orang Persia yg memeluk Islam), dgn gerombolan 40,000 Ghazi (orang2 yg haus akan janji2 Islam berupa kekayaan rampasan perang, wanita ataupun ke 72 huri di surga nanti).

Tgl 10 Juli 751M, tentara2 Arab dan Cina mengambil tempat di Aulie-Ata di belakang sungai Talas. Kavalri Cina nampak lebih besar dari kavalri Arab, tetapi pihak Arab diam2 bersekongkol dgn kontingen Turki (kaum Qarluq) dalam tentara Cina, dgn menjanjikan mereka kekayaan dan kebebasan kalau memeluk Islam dan mengelabui jendral Cina mereka. Pihak Qarluq yg memang tidak suka dgn majikan Cina mereka, menganggapnya sbg kesempatan utk mengalahkan Cina sambil merencanakan utk nantinya mendepak Arab juga.

Pada perang Sungai Talas, kaum Qarluq memfitnah rakyat mereka sendiri dan membelot ke pihak Arab. Ini meningkatkan kekuatan tentara Arab, alhasil mereka mengepung tentara infanteri Cina dgn mudah dan membantai mereka sampai tidak ada lagi tentara Cina yg bernafas.

Para pemanah Qarluq mengepung Jendral Cina, Kao, dan menembakinya dgn panah berkali2. Dan pihak Arabpun melanjutkan tradisi mereka dgn memotong kepala musuh dan mempertontonkannya didepan tentara musuh. Pihak Cina yg tidak biasa dgn taktik perang biadab macam ini morat marit dan bingung, tidak tahu siapa yg memerangkap mereka.

Pihak Arab menawan puluhan ribu Cina dan sekutu2 non-Qarluq Turki mereka dan membawa mereka ke Samarqand dan kemudian ke Baghdad dan Damaskus utk dijual sbg budak. Salah seorang tawanan Cina menyebut perlakuan di kamp2 penjara Arab mirip perlakuan terhdp ternak. Abu Muslim dan Ziyad mendapatkan kekayaan besar dari perdagangan budak ini dan menggunakannya utk membayar tentara mereka. Lebih penting lagi, Arab memaksa tawanan Turki dan Cina utk mengajarkan mereka seni membuat mesin2 katapul dan kereta2 penyerang, yg oleh Muslim2 Turki dimanfaatkan secara sukses dlm serangan melawan kota2 Bizantin.

Kaum Qarluq Turki menginginkan kemerdekaan dari Cina shg mereka berpura2 memeluk Islam agar mendapatkan dukungan Arab. Namun mereka tidak sadar bahwa sekali mereka memeluk Islam, mereka tidak boleh meninggalkannya. Pihak Qarluq dipaksa utk tetap memeluk Islam dan mereka yg menolak dihukum mati atau diperbudak. Sejarah kaum Qarluq kemudian menunjukkan bahwa setelah bebas dari Cina mereka tetap sbg satelit Arab tanpa kemungkinan membebasakan diri dari Islam. Konversi licik terhdp kaum Qarluq ini mengakibatkan konversi bangsa2 Turki kedlm Islam dlm abad 750 sampai 1050. Perjanjian mengakibatkan Turki diperbudak Islam selama2nya.

Dampak pertempuran ini sangat penting. Arab kehilangan kesempatan utk mengIslamkan Cina, sementara itu, dinasti T'ang kehilangan kekuasaan karena ekspansi ke wilayah barat terhenti. Walau Muslim menang dlm pertempuran ini, mereka mendptkan lebih banyak musuh. Kebencian dari pihak Turki-Mongol-Cina --yg semakin besar sejak serangan Muslim pertama terhdp wilayah2 Turki di pertengahan abad 7, yg dibawa ke perbatasan Cina th 751 di Pertempuran Sungai Talas-- memprovokasi balasan keras Mongol melawan Muslim. Setelah kemenangan di Talas, perlawanan Cina dan sekutu2 Turko-Mongol mereka terhdp Muslim semakin meningkat. Akhirnya Muslim memutuskan utk berkonsentrasi bagi kekuatan di Tengah dan memaksa orang Turki memeluk Islam.

Oleh karena itu mereka menunda invasi mereka ke Cina. Keputusan inilah yg melindungi Cina dari Islam. Di abad2 berikutnya, pihak Mongol mengumpulkan kekuatan utk membalas serangan Muslim yg akhirnya berakibat pd penjarahan dan penghancuran Baghdad Khan, pemimpin Mongol.

Namun kemenangan Muslim di sungai Talas sayangnya berakibat pemaksaan Islam terhdp kaum Qarluq Turki, yg kemudian disusul dng kaum Ughir dan Hui (saudara kaum Han). Orang Cina yg memeluk Islam secara bertahap meninggalkan warisan budaya kaya Cina mereka mengalami Arabisasi, walaupun tetap berwajah Mongoloid.

Kini, keturunan Hui, Ughir, dan Qarluq menduduki provinsi Cina paling barat, Xinjiang dan menginginkan negara Islam terpisah bernama Turkestan, yg sejauh ini berhasil dibendung Cina. Banyak dari mereka mendukung Al Qaeda.

Sejarah Masuknya Islam di Filipina



Asia tengagara adalah sebutan untuk wialyah daratan Asia bagian timur yang terdiri dari jazirah Indo-Cina dan kepualauan yang banyak serta terilingkupi dalam Negara Indonesia dan Philipina. Meliht sejarah masa lalu, terliaht bahwa Islam bukanlah agama pertama yang tumbuh pesat, akan tetapi Islam masuk ke lapisan masyarakat yang waktu itu telah memiliki peradaban, budaya, dan agama. Taufiq Abdullah menulis dalam bukunya renaisans islam di asia tenggara, bahwa kawasan asia tenggara terbagi menjadi 3 bagian berdasarkan atas pengaruh yagn diterima wilayah tersebut.

Pertama, adalah wilayah indianized southeast asia, asia tenggara yagn dipengaruhi India yang dalam hal ini hindu dan budha

Kedua, sinized south east asia, wilayah yang mendapatkan pengaruh china, adalah Vietnam.

Ketiga, yatu wilayah asia tenggara yag dispanylkan, atau hispainized south east asia, yaiut philipina.[1]

Ketiga pemmbagian tersebut seolah meniadakan pegnaruh Islam yang begitu besar di Asia tenggara, khususnya Philipina. Seperti tertulis bahwa philipina termasuk negara yang terpengaruhi oleh spanyol. Hal itu benar adanya, akan tetapi pranata kehidupan di Philipina juga terpengaruhi oleh Islam pada masa penjajahan amerika dan spanyol. Sedikit makalah dibawah ini akan menyingkap dengan singkat tentang sejarah masuknya Islam di Philipina.

Pembahasan

Islam di asia menurut Dr. Hamid mempunyai 3 bentuk penyebaran. Pertama, penyebaran Islam melahirkan mayoritas penduduk. Kedua, kelompok minoritas Islam. Ketiga, kelompok negera negara Islam tertindas.

Dalm bukunya yang berjudul Islam Sebagai Kekuatan International, Dr. Hamid mencantumkan bahwa Islam di Philipina merukan salah satu kelompok ninoritas diantara negara negara yang lain. Dari statsitk demografi pada tahun 1977, Masyarakat Philipina berjumlah 44. 300.000 jiwa. Sedangkan jumlah masyarakat Muslim 2.348.000 jiwa. Dengan prosentase 5,3% dengan unsur dominan komunitas Mindanao dan mogondinao. [2]

Hal itu pastinya tidak lepas dari sejarah latar belakang Islam di negeri philipina. Bahkan lebih dari itu, bukan hanya penjajahan saja, akan tetapi konflik internal yang masih berlanjut sampai saat ini.

Sejarah masuknya Islam masuk ke wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao pada tahun 1380 M. Seorang tabib dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum dan Raja Baguinda tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan tersebut. Menurut catatan sejarah, Raja Baguinda adalah seorang pangeran dari Minangkabau (Sumatra Barat). Ia tiba di kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah berhasil mendakwahkan Islam di kepulauan Zamboanga dan Basilan. Atas hasil kerja kerasnya juga, akhirnya Kabungsuwan Manguindanao, raja terkenal dari Manguindanao memeluk Islam. Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai dirintis. Pada masa itu, sudah dikenal sistem pemerintahan dan peraturan hukum yaitu Manguindanao Code of Law atau Luwaran yang didasarkan atas Minhaj dan Fathu-i-Qareeb, Taqreebu-i-Intifa dan Mir-atu-Thullab. Manguindanao kemudian menjadi seorang Datuk yang berkuasa di propinsi Davao di bagian tenggara pulau Mindanao. Setelah itu, Islam disebarkan ke pulau Lanao dan bagian utara Zamboanga serta daerah pantai lainnya. Sepanjang garis pantai kepulauan Filipina semuanya berada dibawah kekuasaan pemimpin-pemimpin Islam yang bergelar Datuk atau Raja. Menurut ahli sejarah kata Manila (ibukota Filipina sekarang) berasal dari kata Amanullah (negeri Allah yang aman). Pendapat ini bisa jadi benar, mengingat kalimat tersebut banyak digunakan oleh masyarakat sub-kontinen [3]

Secara umum, gambaran Islam masuk di Philiphina melalui beberapa fase, dari penjajahan sampai masa modern.

Masa Kolonial Spanyol

Sejak masuknya orang-orang Spanyol ke Filipina, pada 16 Maret 1521 M, penduduk pribumi telah mencium adanya maksud lain dibalik “ekspedisi ilmiah” Ferdinand de Magellans. Ketika kolonial Spanyol menaklukan wilayah utara dengan mudah dan tanpa perlawanan berarti, tidak demikian halnya dengan wilayah selatan. Mereka justru menemukan penduduk wilayah selatan melakukan perlawanan sangat gigih, berani dan pantang menyerah. Tentara kolonial Spanyol harus bertempur mati-matian kilometer demi kilometer untuk mencapai Mindanao-Sulu (kesultanan Sulu takluk pada tahun 1876 M). Menghabiskan lebih dari 375 tahun masa kolonialisme dengan perang berkelanjutan melawan kaum Muslimin. walaupun demikian, kaum Muslimin tidak pernah dapat ditundukan secara total. Selama masa kolonial, Spanyol menerapkan politik devide and rule (pecah belah dan kuasai) serta mision-sacre (misi suci Kristenisasi) terhadap orang-orang Islam. Bahkan orang-orang Islam di-stigmatisasi (julukan terhadap hal-hal yang buruk) sebagai “Moor” (Moro). Artinya orang yang buta huruf, jahat, tidak bertuhan dan huramentados (tukang bunuh). Sejak saat itu julukan Moro melekat pada orang-orang Islam yang mendiami kawasan Filipina Selatan tersebut. Tahun 1578 M terjadi perang besar yang melibatkan orang Filipina sendiri. Penduduk pribumi wilayah Utara yang telah dikristenkan dilibatkan dalam ketentaraan kolonial Spanyol, kemudian di adu domba dan disuruh berperang melawan orang-orang Islam di selatan. Sehingga terjadilah peperangan antar orang Filipina sendiri dengan mengatasnamakan “misi suci”. Dari sinilah kemudian timbul kebencian dan rasa curiga orang-orang Kristen Filipina terhadap Bangsa Moro yang Islam hingga sekarang. Sejarah mencatat, orang Islam pertama yang masuk Kristen akibat politik yang dijalankan kolonial Spanyol ini adalah istri Raja Humabon dari pulau Cebu,

Masa Imperialisme Amerika Serikat

Sekalipun Spanyol gagal menundukkan Mindanao dan Sulu, Spanyol tetap menganggap kedua wilayah itu merupakan bagian dari teritorialnya. Secara tidak sah dan tak bermoral, Spanyol kemudian menjual Filipina kepada Amerika Serikat seharga US$ 20 juta pada tahun 1898 M melalui Traktat Paris. Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan diri sebagai seorang sahabat yang baik dan dapat dipercaya. Dan inilah karakter musuh-musuh Islam sebenarnya pada abad ini. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya Traktat Bates (20 Agustus 1898 M) yang menjanjikan kebebasan beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat, kebebasan mendapatkan pendidikan bagi Bangsa Moro. Namun traktat tersebut hanya taktik mengambil hati orang-orang Islam agar tidak memberontak, karena pada saat yang sama Amerika tengah disibukkan dengan pemberontakan kaum revolusioner Filipina Utara pimpinan Emilio Aguinaldo. Terbukti setelah kaum revolusioner kalah pada 1902 M, kebijakan AS di Mindanao dan Sulu bergeser kepada sikap campur tangan langsung dan penjajahan terbuka. Setahun kemudian (1903 M) Mindanao dan Sulu disatukan menjadi wilayah propinsi Moroland dengan alasan untuk memberadabkan (civilizing) rakyat Mindanao dan Sulu. Periode berikutnya tercatat pertempuran antara kedua belah pihak. Teofisto Guingona, Sr. mencatat antara tahun 1914-1920 rata-rata terjadi 19 kali pertempuran. Tahun 1921-1923, terjadi 21 kali pertempuran. Patut dicatat bahwa selama periode 1898-1902, AS ternyata telah menggunakan waktu tersebut untuk membebaskan tanah serta hutan di wilayah Moro untuk keperluan ekspansi para kapitalis. Bahkan periode 1903-1913 dihabiskan AS untuk memerangi berbagai kelompok perlawanan Bangsa Moro. Namun Amerika memandang peperangan tak cukup efektif meredam perlawanan Bangsa Moro, Amerika akhirnya menerapkan strategi penjajahan melalui kebijakan pendidikan dan bujukan. Kebijakan ini kemudian disempurnakan oleh orang-orang Amerika sebagai ciri khas penjajahan mereka. Kebijakan pendidikan dan bujukan yang diterapkan Amerika terbukti merupakan strategi yang sangat efektif dalam meredam perlawanan Bangsa Moro. Sebagai hasilnya, kohesitas politik dan kesatuan diantara masyarakat Muslim mulai berantakan dan basis budaya mulai diserang oleh norma-norma Barat. Pada dasarnya kebijakan ini lebih disebabkan keinginan Amerika memasukkan kaum Muslimin ke dalam arus utama masyarakat Filipina di Utara dan mengasimilasi kaum Muslim ke dalam tradisi dan kebiasaan orang-orang Kristen. Seiring dengan berkurangnya kekuasaan politik para Sultan dan berpindahnya kekuasaan secara bertahap ke Manila, pendekatan ini sedikit demi sedikit mengancam tradisi kemandirian.

Masa Peralihan

Masa pra-kemerdekaan ditandai dengan masa peralihan kekuasaan dari penjajah Amerika ke pemerintah Kristen Filipina di Utara. Untuk menggabungkan ekonomi Moroland ke dalam sistem kapitalis, diberlakukanlah hukum-hukum tanah warisan jajahan AS yang sangat kapitalistis seperti Land Registration Act No. 496 (November 1902) yang menyatakan keharusan pendaftaran tanah dalam bentuk tertulis, ditandatangani dan di bawah sumpah. Kemudian Philippine Commission Act No. 718 (4 April 1903) yang menyatakan hibah tanah dari para Sultan, Datu, atau kepala Suku Non-Kristen sebagai tidak sah, jika dilakukan tanpa ada wewenang atau izin dari pemerintah. Demikian juga Public Land Act No. 296 (7 Oktober 1903) yang menyatakan semua tanah yang tidak didaftarkan sesuai dengan Land Registration Act No. 496 sebagai tanah negara, The Mining Law of 1905 yang menyatakan semua tanah negara di Filipina sebagai tanah yang bebas, terbuka untuk eksplorasi, pemilikan dan pembelian oleh WN Filipina dan AS, serta Cadastral Act of 1907 yang membolehkan penduduk setempat (Filipina) yang berpendidikan, dan para spekulan tanah Amerika, yang lebih paham dengan urusan birokrasi, untuk melegalisasi klaim-klaim atas tanah. Pada intinya ketentuan tentang hukum tanah ini merupakan legalisasi penyitaan tanah-tanah kaum Muslimin (tanah adat dan ulayat) oleh pemerintah kolonial AS dan pemerintah Filipina di Utara yang menguntungkan para kapitalis. Pemberlakukan Quino-Recto Colonialization Act No. 4197 pada 12 Februari 1935 menandai upaya pemerintah Filipina yang lebih agresif untuk membuka tanah dan menjajah Mindanao. Pemerintah mula-mula berkonsentrasi pada pembangunan jalan dan survei-survei tanah negara, sebelum membangun koloni-koloni pertanian yang baru. NLSA - National Land Settlement Administration - didirikan berdasarkan Act No. 441 pada 1939. Di bawah NLSA, tiga pemukiman besar yang menampung ribuan pemukim dari Utara dibangun di propinsi Cotabato Lama. Bahkan seorang senator Manuel L. Quezon pada 1936-1944 gigih mengkampanyekan program pemukiman besar-besaran orang-orang Utara dengan tujuan untuk menghancurkan keragaman (homogenity) dan keunggulan jumlah Bangsa Moro di Mindanao serta berusaha mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat Filipina secara umum. Kepemilikan tanah yang begitu mudah dan mendapat legalisasi dari pemerintah tersebut mendorong migrasi dan pemukiman besar-besaran orang-orang Utara ke Mindanao. Banyak pemukim yang datang, seperti di Kidapawan, Manguindanao, mengakui bahwa motif utama kedatangan mereka ke Mindanao adalah untuk mendapatkan tanah. Untuk menarik banyak pemukim dari utara ke Mindanao, pemerintah membangun koloni-koloni yang disubsidi lengkap dengan seluruh alat bantu yang diperlukan. Konsep penjajahan melalui koloni ini diteruskan oleh pemerintah Filipina begitu AS hengkang dari negeri tersebut. Sehingga perlahan tapi pasti orang-orang Moro menjadi minoritas di tanah mereka

Masa Pasca Kemerdekaan hingga Sekarang

Kemerdekaan yang didapatkan Filipina (1946 M) dari Amerika Serikat ternyata tidak memiliki arti khusus bagi Bangsa Moro. Hengkangnya penjajah pertama (Amerika Serikat) dari Filipina ternyata memunculkan penjajah lainnya (pemerintah Filipina). Namun patut dicatat, pada masa ini perjuangan Bangsa Moro memasuki babak baru dengan dibentuknya front perlawanan yang lebih terorganisir dan maju, seperti MIM, Anshar-el-Islam, MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF. Namun pada saat yang sama juga sebagai masa terpecahnya kekuatan Bangsa Moro menjadi faksi-faksi yang melemahkan perjuangan mereka secara keseluruhan. Pada awal kemerdekaan, pemerintah Filipina disibukkan dengan pemberontakan kaum komunis Hukbalahab dan Hukbong Bayan Laban Sa Hapon. Sehingga tekanan terhadap perlawanan Bangsa Moro dikurangi. Gerombolan komunis Hukbalahab ini awalnya merupakan gerakan rakyat anti penjajahan Jepang. Setelah Jepang menyerah, mereka mengarahkan perlawanannya ke pemerintah Filipina. Pemberontakan ini baru bisa diatasi di masa Ramon Magsaysay, menteri pertahanan pada masa pemerintahan Eipidio Qurino (1948-1953). Tekanan semakin terasa hebat dan berat ketika Ferdinand Marcos berkuasa (1965-1986). Dibandingkan dengan masa pemerintahan semua presiden Filipina dari Jose Rizal sampai Fidel Ramos maka masa pemerintahan Ferdinand Marcos merupakan masa pemerintahan paling represif bagi Bangsa Moro. Pembentukan Muslim Independent Movement (MIM) pada 1968 dan Moro Liberation Front (MLF) pada 1971 tak bisa dilepaskan dari sikap politik Marcos yang lebih dikenal dengan Presidential Proclamation No. 1081 itu. Perkembangan berikutnya kita semua tahu. MLF sebagai induk perjuangan Bangsa Moro akhirnya terpecah. Pertama, Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nurulhaj Misuari yang berideologikan nasionalis-sekuler. Kedua, Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Salamat Hashim, seorang ulama pejuang, yang murni berideologikan Islam dan bercita-cita mendirikan negara Islam di Filipina Selatan. Namun dalam perjalanannya, ternyata MNLF pimpinan Nur Misuari mengalami perpecahan kembali menjadi kelompok MNLF-Reformis pimpinan Dimas Pundato (1981) dan kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abdurrazak Janjalani (1993). Tentu saja perpecahan ini memperlemah perjuangan Bangsa Moro secara keseluruhan dan memperkuat posisi pemerintah Filipina dalam menghadapi Bangsa Moro. Ditandatanganinya perjanjian perdamaian antara Nur Misuari (ketua MNLF) dengan Fidel Ramos (Presiden Filipina) pada 30 Agustus 1996 di Istana Merdeka Jakarta lebih menunjukkan ketidaksepakatan Bangsa Moro dalam menyelesaikan konflik yang telah memasuki 2 dasawarsa itu. Disatu pihak mereka menghendaki diselesaikannya konflik dengan cara diplomatik (diwakili oleh MNLF), sementara pihak lainnya menghendaki perjuangan bersenjata/jihad (diwakili oleh MILF). Semua pihak memandang caranyalah yang paling tepat dan efektif. Namun agaknya Ramos telah memilih salah satu diantara mereka walaupun dengan penuh resiko. “Semua orang harus memilih, tidak mungkin memuaskan semua pihak,” katanya. Dan jadilah bangsa Moro seperti saat ini, minoritas di negeri sendiri.

Epilog

Dari telusan diatas, begitu kentara bahwasanya islam masuk Philipina dengan jalan yang tidak mulus, berliku dan harus menghadapi rintangan dan hambatan dari dalam maupun luar negeri. Imbasnya, maka pada awal tahun 1970-an, Islam di Philipina merupakan komunitas minoritas dan tinggal di beberapa daerah dan pulau khusus. Dengan suatu konsekwensi bagi kaum minoritas Islam berseberangan degnan kepentingan pemerintah, hingga timbullah konflik yang berkepanjanangan antara pemerintah dan komunitas muslim.

 KESIMPULAN :

Jadi, dapat kita tarik kesimpulan bahwa masuknya islam disuatu tempat yaitu denga :
1.      Perdagangan dan Perkawinan
Dengan menunggu angin muson (6 bulan), pedagang mengadakan perkawinan dengan penduduk asli. Dari perkawinan itulah terjadi interaksi social yang menghantarkan Islam berkembang (masyarakat Islam).
2.      Pembentukan masyarakat Islam dari tingkat ‘bawah’ dari rakyat lapisan bawah, kemudian berpengaruh ke kaum birokrat (J.C. Van Leur).
3.      Gerakan Dakwah, melalui dua jalur yaitau:
a.       Ulama keliling menyebarkan agama Islam (dengan pendekatan Akulturasi dan Sinkretisasi/lambing-lambang budaya.
b.      Pendidikan pesantren (ngasu ilmu/perigi/sumur), melalui lembaga/sisitem pendidikan Pondok Pesantren, Kyai sebagai pemimpin, dan santri sebagai murid.
Dari ketiga model perkembangan Islam itu, secara relitas Islam sangat diminati dan cepat berkembang di Indonesia. Meskipun demikian, intensitas pemahaman dan aktualisasi keberagman islam bervariasi menurut kemampuan masyarakat dalam mencernanya.
Ditemukan dalam sejarah, bahwa komunitas pesantrean lebih intens keberagamannya, dan memiliki hubungan komunikasi “ukhuwah” (persaudaraan/ikatan darah dan agama) yang kuat. Proses terjadinya hubungan “ukhuwah” itu menunjukkan bahwa dunia pesantren memiliki komunikasi dan kemudian menjadi tulang punggung dalam melawan colonial.

TINJAUAN PUSTAKA / REFERENSI :

  1. Siti Maryam dkk Sejarah Peradaban Islam, Lkis, 2004
  2. Dr. Hamid A. Rabie, Islam Sebagai Kekuatan International, CV. Rosda Bandung 1985
  3. Artikel Sejarah Masuknya Islam di Philipina. oleh Imam nugroho di www.duiniaislam.com
  4. Hamka, Sejarah Umat Islam, Pustaka Hidayah, 2001
  5. Lihat Sejarah Peradaban Islam, oleh Siti Maryam dkk.
  6. Dr. Hamid A. Rabie, Islam Sebagai Kekuatan International, CV. Rosda Bandung 1985
  7. Lihat, artikel Sejarah Masuknya Islam di Philipina. oleh Imam nugroho
  8. Smith, Michael Llewellyn, The Fall of Constantinople, in History Makers magazine No. 5, (London, Marshall Cavendish, Sidgwick & Jackson, 1969) p. 189. 
  9. Smith, The Fall of Constantinople, p. 189 - 192. 
  10. Stokes, Gwenneth and John, Europe 1850-1959, (Longman, London, 1966 & 1969), p. 129. 
  11. Earle, Peter, Vienna 1683, in History Makers magazine No. 6, (London, Marshall Cavendish, Sidgwick & Jackson, 1969) p. 261. 
  12. Earle, Vienna 1683, p. 261. 
  13. Stokes, Europe 1850-1959, p. 143 - 211
  14. Fisher, H. A. L., A History of Europe, (Edward Arnold, London, 1936 & 1965), p. 726. Peacock, H. L., A History of Modern Europe, (Heinemann, London, 1971), p. 216. 
  15. Peacock, A History of Modern Europe, p. 218 - 232. 
  16. Fisher, A History of Europe, p. 882 - 881. 

  17. Ye’or, Bat, The Decline of Eastern Christianity under Islam, (Associated University Presses, USA, 1996), p. 191
  18. Lang, D. M., and Walker, C.J., The Armenians, (Minority Rights Group, London, 1987), p. 7. 
  19. Lang, and Walker, The Armenians, p. 7-8.
  20. http://www.depag.web.id/research/lektur/94/
  21. http://qistoos.multiply.com/journal/item/12
  22. http://filzahazny.wordpress.com/2008/03/09/teori-masuknya-islam-ke-indonesia/
  23. http://www.ummah.net/islam/nusantara/sejarah.html
  24. http://www.historyofjihad.org/china.html
  25. http://mengenal-islam.t35.com/IslamvsCina.htm
  26.  http://aina.org/martyr.htm 1999 
  27. http://aina.org/martyr.htm 1999 
  28. http://aina.org/martyr.htm 1999
  29. http://www.historyofjihad.org/byzantine.html
  30. http://www.historyofjihad.org/turkey.html http://www.debate.org.uk/topics/history/xstnc-6.html
  31.  Lihat juga http://www.duniaislam.com

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
This Theme Modified by Kapten Andre based on Structure Theme from MIT-style License by Jason J. Jaeger