Revolusi digital dengan segala unsur pendukungnya kini telah menjadi simpul rumit dalam dunia industri musik. Di satu sisi menawarkan berbagai kemudahan, sementara di sisi lain menyuburkan apa yang kini disebut sebagai pembajakan. Akankah ini menjadi senja kala industri musik? Atau justru sebaliknya?
Rantai audio digital dimulai ketika sebuah sinyal audio analog adalah pertama sampel, dan kemudian (untuk-code modulasi pulsa, bentuk audio digital biasa) itu diubah menjadi biner 'on sinyal-/ 'pulsa off-yang disimpan sebagai biner elektronik , sinyal magnetik, atau optik, bukan sebagai waktu yang kontinu, tingkat kontinu sinyal elektronik atau elektromekanis. Sinyal ini kemudian dapat lebih lanjut dikodekan untuk memungkinkan koreksi kesalahan yang mungkin terjadi dalam penyimpanan atau transmisi sinyal, namun pengkodean ini adalah untuk koreksi kesalahan, dan tidak sepenuhnya bagian dari proses audio digital. Ini "channel coding" adalah penting untuk kemampuan siaran atau sistem digital yang direkam untuk menghindari kehilangan akurasi bit. Waktu diskrit dan tingkat sinyal biner memungkinkan decoder untuk menciptakan sinyal analog pada replay. Contoh kode saluran delapan untuk empat belas bit kompilasi seperti yang digunakan dalam audio compac disk (CD).
Tidak sedikit kemudahan yang ditawarkan teknologi digital pada perkembangan dunia musik. Kemudahan menyusun komposisi dengan bantuan berbagai software komputer, kemudahan merekam data suara maupun visual, kemudahan promosi melalui dunia cyber, dan lain-lain, sangat membantu para musisi untuk berkarya dan memperkenalkan karyanya kepada masyarakat.
Di samping itu revolusi digital juga membawa ekses negatif. Kemampuan memampatkan karya musik ke dalam data digital dengan ukuran begitu kecil (mp3), kemudahan transfer data melalui jaringan internet, kabel data, bluetooth, serta semakin terjangkaunya gadget-gadget pendukung (Mp3 player portable, Hanphone, USB Flashdisc), menjadikan makna ‘pembajakan’ meluas. Hukum formal tidak mampu menyentuh secara substansial. Akhirnya kasus ini menjadi mustahil untuk dikendalikan.
Di saat yang sama muncul fenomena ring back tone (RBT), menjual copy karya musik dalam bentuk nada tunggu pribadi sebuah nomor telepon. Peluang ini secara ekonomis memberi nafas segar bagi pelaku industri musik. Namun beberapa musisi dan pengamat meyakini bahwa ini bukanlah cara tepat dalam menikmati suatu karya musik. Sedangkan ‘dinikmatinya suatu karya musik’ merupakan benang merah penghubung kepentingan industri dan kepentingan ideal seorang musisi.
Merenungkan Makna Pembajakan
Dalam konteks industri musik, apa yang disebut pembajakan adalah kegiatan reproduksi suatu copy karya musik yang dilakukan tanpa ijin dari publishernya. Pada masa sebelumnya pembajakan dilakukan oleh sekelompok orang yang terorganisir dan bertujuan mencari keuntungan. Namun kini ketika kegiatan reproduksi menjadi terlalu mudah, maka pelaku pembajakanpun ikut meluas, tidak hanya terbatas pada sekelompok orang yang mencari keuntungan namun justru dilakukan oleh apresian atau pasar itu sendiri.
Pada era pita kaset, pembajakan sudah menjadi penyakit kronis yang tidak gampang diberantas, padahal kala itu dilakukan dengan relatif lebih sulit dan didistribusikan secara nyata antar manusia beridentitas jelas. Sementara kini di dunia maya, apa yang disebut sebagai ‘pembajakan’ dilakkan oleh subjek dengan identitas anoname dan invisible. Sedangkan di dunia nyata, pertukaran data dilakukan dengan begitu mudah di ruang-ruang privat yang hampir tidak tersentuh oleh hukum (antar pc/laptop, hanphone, mp3 player).
Di sisi lain fenomena naik daunnya seorang musisi karena industri pembajakanpun kini bukanlah sebuah berita mengagetkan. Di suatu sisi seorang musisi bisa saja kehilangan hak material atas copy karya yang diperjual belikan (atau bahkan dibagi secara gratis di internet), namun tidak demikian dengan hak moralnya. Artinya meskipun dia telah kehilangan nominal yang mesti diterimanya namun dia tetap menerima popularitas yang terbagun ketika karya tersebut beredar luas di masyarakat.
Dua Pola Apresiasi
Sejak era pra industri, era industri, hingga era digital, pola keterkaitan antara musisi – agen (management & publisher) – apresian/pasar, sesungguhnya tidak pernah berubah. Musisi menciptakan karya, agen membalutnya sebagai produk, apresian menikmati kemudian membayarnya. Dalam proses perkembangan jaman setidaknya terdapat dua pola apresiasi yang berkembang. Pertama apresiasi secara langsung dan ke dua apresiasi secara tidak langsung.
Pada era pra industri, untuk menikmati karya musik, apresian datang ke suatu tempat bersamaan dengan musisi untuk saling memberi dan menerima. Tidak terjadi proses interaksi lain di luar model tersebut. Inilah pola pertama.
Pada era industri pola apresiasi melebar. Pola pertama masih ada namun interaksi antar musisi dan apresian bisa saja terjadi tanpa pertemuan secara langsung. Menikmati suatu karya bisa dilakukan hanya dengan membeli copy sebuah karya musik. Inilah pola ke dua. Pada masa inilah pembajakan lahir.
Dalam pola pertama, apresian mendengar dan menyaksikan sebuah pagelaran musik secara langsung merupakan sebuah apresiasi total. Ada jiwa dari musik dan musisinya yang relatif tidak mampu ditangkap dan disampaikan oleh media perekam kepada apresian.
Menggagai Masa Depan
Konon perkembangan jaman tak bisa dilawan. Solusinya sering kali mengalir bukan melawan. Ketika apa yang disebut pembajakan kini telah melebar dan menjadi mustahil untuk diberantas, maka mengambil manfaat dari kegiatan tersebut menjadi pilihan yang mesti dipertimbangkan.
Roda akan terus berputar. Pola apresiasi dan industri musik mungkin saja akan kembali disandarkan pada pola pertama. Sehingga copy karya musik hanya akan berfungsi sebagai media promosi yang bersifat gratis. Sementara kegiatan ekonomi disandarkan pada pagelaran musik secara langsung. Di mana kualitas sang musisi tidak bisa dimanipulasi seperti halnya ketika apresiasi dilakukan dengan melalui penjualan copy karya yang sering kali membohongi apresian.
Ini adalah sebuah kondisi ideal. Apresian bisa mengapresiasi dengan cara yang benar, kesuksesan musisi benar-benar disandarkan pada kualitas, dan kegiatan ekonomi tetap berjalan. Semoga bukan hanya terjadi di negeri dongeng.
Referensi : http://hiburan.kompasiana.com
Referensi : http://hiburan.kompasiana.com
0 komentar:
Posting Komentar